Jauh dari hiruk-pikuk politik, dari tingkah elite yang mencederai nurani publik, warga tak kehilangan sikap mulia. Walaupun tinggal di rumah bata tidak dengan plester, dengan sumur dan kamar mandi bersama, mereka terhubung rumahnya untuk menetaskan nyamuk Aedes aegypti berbakteri Wolbachia.
Rabu pagi di akhir Pebruari, matahari tidak terlalu menyengat di Singosaren, salah satu desa di Kecamatan Banguntapan, Kab Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di kantor arena lapang Eliminate Dengue Project Yogyakarta (EDP-Yogya), para Pegawai bersiap menetaskan nyamuk di 58 rumah warga.
EDP-Yogya yaitu acara penelitian Fakultas Kedokteran Kampus Gadjah Mada (FK UGM) dengan Yayasan Tahija juga sebagai penyandang dana. Acara ini meneliti dan mengembangkan metode Wolbachia untuk mengurangi penularan virus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia. Berjalan sejak 2011, pilihan jatuh ke kawasan Yogyakarta dengan angka kejadian DBD lebih dari 55 kasus per 100.000 orang.
Ada di serangga
Bakteri Wolbachia umum ditemukan pada serangga. Menurut Adi Utarini, Wakil Dekan Bagian Penelitian, Pengabdian Penduduk, dan kerjasama Fakultas Kedokteran UGM yang merupakan Ketua Proyek EDP, temuan manfaat Wolbachia diilhami lalat buah pembawa Wolbachia yang berusia pendek. "Asumsinya, nyamuk Ber-Wolbachia serta mati muda maka tak pernah menulari. nyatanya Wolbachia justru melumpuhkan virus dengue," jelasnya.
Walaupun penelitian Wolbachia berjalan sejak 1920-an, transfer Wolbachia dari lalat buah ke nyamuk pembawa virus dengue, Aedes aegypti, baru sukses pada 2008 bersama menyuntikkan Wolbachia terhadap telur nyamuk. Nyamuk betina yang mengandung Wolbachia bakal menurunkan ke generasi seterusnya, sedangkan jantan pembawa Wolbachia jadi mandul maka telur hasil pembuahannya tak menetas.
"Ini bukan nyamuk transgenik sebab tiada manipulasi genetik," kata Utarini.
Nyamuk pembawa Wolbachia pula aman bagi manusia. "Ukuran bakteri lebih besar daripada probosis, sektor dari nyamuk buat mengisap darah, maka tak mampu ke luar dari badan nyamuk," ucap Warsisto Tantowijoyo, entomolog alumnus Institut Pertanian Bogor, penanggung jawab pengembangan nyamuk Wolbachia.
Untuk itu, rencana penelitian ini ialah menyebarkan nyamuk pembawa Wolbachia ke alam dan berbaur bersama nyamuk lokal. Wolbachia bakal diturunkan ke generasi berikut hingga hasilnya mayoritas nyamuk Aedes aegypti mengandung Wolbachia. Dengan begitu, tak ada lagi penularan virus dengue dan tamatlah demam berdarah.
Untuk mencegah introduksi nyamuk asing, nyamuk dari telur kiriman Monash University, Australia, ditetaskan dan dikawinsilangkan bersama nyamuk lokal hingga generasi kelima. Nyamuk tetap dibiakkan hingga generasi ke-28, baru selanjutnya dilepas ke alam.
Pelepasan
Singosaren merupakan satu dari empat desa pelepasan sebab persentase nyamuk Aedes aegypti tinggi dan ada dukungan populasi. Penelitian berjalan bersama persetujuan penduduk juga izin dari Komisi Etik FK UGM dan pemerintah daerah.
Pelepasan di Bantul sebenarnya termasuk juga seri ke-2. Seri perdana berlangsung di Desa Nogotirto dan Kronggahan, Kab Sleman, Januari-Juni 2014. "Sekarang di Sleman tinggal monitoring," kata Dedik Helmy Yusdiana, spesialis pelibatan populasi di EDP.
Rabu pagi itu, giliran Desa Singosaren. Nurcholifah dan Heru, Pegawai lapangan EDP, menangani 15 rumah. Heru menyandang tas gede berisi telur nyamuk, ember berpenutup buat menetaskan nyamuk, dan perlengkapan yang lain. Dipandu Nur yang mengambil daftar nama dan alamat responden, tim menyusuri jalan setapak yang sejuk sehabis diguyur hujan.
Sarti (45) melongok dari pintu dapur saat Nur mengucap salam. "Monggo, monggo, Mbak," kata Sarti sambil menyuapi cucunya.
Istri buruh bangunan ini tak mau ke-2 cucunya terkena demam berdarah. Dirinya langsung setuju saat rumahnya terpilih jadi ruangan pelepasan nyamuk. Dari pelepasan pertama, keluarganya tiada yang panas meskipun pernah flu. Semakin banyak digigit nyamuk? "Mboten, kok, biasa saja," jawab Sarti.
Sambil mengobrol, Heru membawa air dan menuangkan di ember penetasan. Nur membantu menyiapkan setrip telur nyamuk, pelet, dan tutup ember. "Nyamuk menetas sesudah satu minggu. Begitu pelet habis, mereka bakal ke luar melalui lubang-lubang mungil di ember," kata Heru.
Prosedur serupa berjalan di seluruh rumah responden. Sambil memasang perangkat penetasan, Nur menanyai keadaan penghuni rumah. "Nyamuknya, kok, banyak, ya. Gatal," kata Marsidah (36).
"Repellent tetap ada? Apabila habis besok kami antar, ya," kata Nur menanyakan obat oles pengusir nyamuk. Obrolan sambil berdiri di halaman itu berlanjut bersama penjelasan Nur. "Kapan digigit? Seandainya tengah malam, berarti nyamuk biasa. Nyamuk demam berdarah menggigit pagi atau sore hari. Namun, nyamuk Wolbachia tak menularkan demam berdarah," imbuhnya.
Awalnya tak gampang menggandeng warga berperan juga dan meyakinkan pemangku kebutuhan. Seperti di Desa Nogotirto, Kab Sleman, yang semula 95 % setuju. Begitu ada provokasi, 5 RT menolak. Keluhan pula banyak, sejak mulai dari gigitan menjadi lebih sakit sampai nyamuk bertambah banyak. Tetapi, dengan pendampingan intensif, warga antusias menjalani proses perubahan.
"Sekarang mereka paham bahwa periode edar nyamuk demam berdarah berbeda dengan nyamuk biasa, mengenali kategori nyamuk, sekaligus bisa membedakan panas gejala flu dengan panas gejala demam berdarah," tutur Paulus Enggal Sulaksono, spesialis komunikasi dan fasilitas EDP.
Di Sleman, nyamuk pembawa Wolbachia dapat beradaptasi dan berkembang biak di alam. Persentase nyamuk Ber-Wolbachia di Nogotirto 70 % dan di Kronggahan 93 %. Walaupun proses penelitian masih panjang, angan-angan membuncah.
Terlebih, warga makin kooperatif. "Demi kebaikan, aku ikhlas rumah aku menjadi lokasi pelepasan nyamuk," kata Siswanto (37), ayah satu anak umur 6 th di Singosaren.
Sayang, diwaktu rakyat berpikir kemaslahatan, elite politik justru bertikai demi kebutuhan sendiri.